Laman

Sabtu, 28 Mei 2016

KENAPA DENGAN AKREDITASI?

Akreditasi sekolah/madrasah adalah proses penilaian secara komprehensif terhadap kelayakan satuan atau program pendidikan, yang hasilnya diwujudkan dalam bentuk sertifikat pengakuan dan peringkat kelayakan yang dikeluarkan oleh suatu lembaga yang mandiri dan profesional.
Penggunaan instrumen akreditasi yang komprehensif dikembangkan berdasarkan standar yang mengacu pada SNP. Hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 yang memuat kriteria minimal tentang komponen pendidikan. Seperti dinyatakan pada pasal 1 ayat (1) bahwa SNP adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, SNP harus dijadikan acuan guna memetakan secara utuh profil kualitas sekolah/madrasah. Di dalam pasal 2 ayat (1), lingkup SNP meliputi:
  1. standar isi;
  2. standar proses;
  3. standar kompetensi lulusan;
  4. standar pendidik dan tenaga kependidikan;
  5. standar sarana dan prasarana;
  6. standar pengelolaan;
  7. standar pembiayaan; dan
  8. standar penilaian pendidikan.
Sebuah sekolah atau madrasah dikatakan layak apabila sudah terakreditasi. Terlebih lagi jika nilai akreditasinya baik maka akan mengangkat derajat sekolah tersebut dimata masyarakat.

Untuk memperoleh bukti terakreditasi tidaklah mudah. Ada begitu banyak dokumen baik berupa fisik dan non fisik yang harus dipersiapkan untuk menghadapi pertanyaan para asesor. Tidak semua asesor bersikap memaklumi terhadap semua yang terjadi. Jadi, hal ini tergantung kepandaian dari masing-masing sekolah untuk menghadapi para asesor tersebut.

Sudah menjadi rahasia umum, akreditasi identik dengan kata manipulasi. Disadari ataupun tidak memang sudah mendarah daging bagi kami para penggelut dunia pendidikan bahwa akreditasi sama dengan manipulasi. Manipulasi dari berbagai segi. Dari yang ada menjadi ada bahkan diadakan.

Lalu, untuk apa kita mengajukan akreditasi jikalau para penggelut dunia pendidikan ternyata malah dipaksa untuk membuat suatu kebohongan publik? Lalu bagaimanakah sikap moral kita kepada para orang tua dan siswa? Haruskah tetap menutup mata demi kata "layak" atau terakreditasi?

Ironi. Dikala dunia semakin maju dan kecanggihan teknologi berkembang pesat. Justru mental pendidik dipaksa untuk bejat. Lalu siapakah yang memaksa? Pimpinan? Keadaan? Atau memang sudah menjadi taruhan demi pamor yang menawan?

Dari sisni marilah kita merenung sejenak untuk memaknai sesungguhnya apa itu akreditasi. Bahwa penilaian layak bagi sebuah sekolah tak hanya dilihat dari sertifikat bertuliskan angka ataupun huruf. Tapi, akreditasi adalah cerminan dari penggelut dunia pendidik, pemimpin maupun para anak didik dalam sekolah itu. Selembar kertas tak akan memberikan pengaruh jika masyarakat mampu menyimpulkan kelayakan sebuah sekolah dari pimpinan, pendidik maupun yang dididik.