Laman

Sabtu, 29 November 2014

Menjadi Guru yang Ikhlas. Bisakah?

Tugas seorang guru di sebuah sekolah, tidak hanya mentransfer pengetahuan ke siswa tapi membimbing siswa agar mempunyai tingkah laku dan akhlak yang mulia. Saya yakin, setiap guru dituntut untuk bersikap profesional terhadap pekerjaannya. Bagi sebagian guru, profesionalitas juga harus diimbangi dengan upah yang seimbang. Agar kami para guru mampu menjalankan roda kehidupan dengan segala kebutuhan hidupnya. 
Dilema muncul ketika seorang guru diminta menjadi seorang guru yang ikhlas dengan pekerjaannya. Ikhlas yang dimaksud adalah upah yang diterima jauh dari harapan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ikhlas memang sebuah kata yang mudah diucapkan namun sukar direalisasikan. Kenapa? Hidup itu butuh penghidupan. Penghidupan dengan menggunakan penghasilan untuk mencari kebutuhan hidup. 
Ah, betapa mulianya tugas guru sehingga guru selalu disimbolkan sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa". Namun, haruskah kami para guru makan dari jasa? Tidak adakah keadilan bagi kami terutama yang mengabdi sebagai guru wiyata bakti. Ataukah kami harus ikhlas dengan upah tak seberapa? Padahal untuk menuju ke sekolah kamipun butuh biaya. 
Adakah keadilan bagi kami di dunia ini? Ataukah keadilan hanya akan kami rasakan ketika kami berada di akhirat?
Kami tidak kurang-kurangnya introspeksi. Introspeksi diri bahwa sudahkah kami menjalankan tugas dan kewajiban kami secara baik. Jika kami merasa telah menjalankannya, lalu bagaimana dengan para pengambil keputusan akan nasib kami? Sudahkan mereka introspeksi diri mereka sendiri? Sudahkah mereka memberikan hak kami? Bukan janji-janji manis dengan mengatasnamakan rasa ikhlas. Padahal mereka pun bukan termasuk orang ikhlas. 
Inilah dilema kami, dilema guru wiyata bakti yang selalu harus ikhlas tanpa pernah dipedulikan nasibnya. Nasib akan penghidupan yang layak. Menurut standar kelayakan yang berlaku secara umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar